Kuratorial Pameran Unlimited Trajectory Zamzami Almakki
“Bagaikan diterpa badai ….”, begitulah istilah populer infotainment yang acap kali dipakai dalam menggambarkan peristiwa perceraian. Sebagai sebuah peristiwa, perceraian tergolong dalam peristiwa negatif. Menurut Hardiman (2005:170) peristiwa negatif adalah kehadiran sesuatu yang menakutkan atau menyedihkan, dan manusia terseret ke dalam hal tersebut tanpa mampu mengendalikannya. Dampak dari peristiwa negatif tersebut adalah trauma, yang bisa dikatakan sebagai luka emosi.
Jatuhnya talak (perceraian) bukanlah persoalan yang traumatis, melainkan proses menuju jatuhnya talak tersebutlah yang lebih sulit untuk dilalui dan membekas. Proses menuju tersebut adalah bagian dari pengalaman (experience) yang bersifat inderawi dan tentu saja membutuhkan penghayatan dalam menghasilkan pemaknaan.
Pemaknaan ‘Talak’ dalam ‘Talak Lima’ tidak terlepas dari rujukan pengertian ‘Talak’ secara bahasa yakni cerai dan berpisah. Jumlah ‘Lima ’ tersebut bukanlah sebuah ijtihad dari klasifikasi ‘Talak’ dalam syara’ yang terbagi menjadi raj’i (masih bisa rujuk) dan bain (talak sebanyak tiga kali, yang bisa rujuk kembali melalui pernikahan istri dengan lelaki yang lain secara sah). Namun yang tampak dalam pengangkatan tema ‘Talak Lima’ ini adalah meminjam semangat ijtihad yang berarti sebuah usaha yang sungguh-sungguh.
Penambahan jumlah batas ‘Talak’ menjadi ‘Talak Lima’ dari yang berlaku maksimum yaitu ‘Talak Tiga’ dapat dimaknai sebagai sebuah usaha yang sungguh-sungguh dalam menjaga kesinambungan eksistensi berproses kreatif dalam dunia seni rupa. Sedangkan pasangan yang terlibat proses ‘Talak’ tersebut bukanlah pasangan suami istri yang terlibat konflik, melainkan intersubyektifitas; ‘aku dan engkau’ dalam arti yang luas. Ricoeur dalam Sugiharto (1996:104) menyatakan: “selama metafor masih dilihat hanya dari sudut “kata”, tidak akan pernah menghasilkan nilai produktif dan inventif (dayacipta) dan hanya akan berkutat pada segi deviasi (kesalahan kategori atau penyimpangan) saja”.
‘Talak Lima’ diibaratkan seperti monumen, prasasti ataupun kristalisasi semangat produktifitas berkarya sekaligus transformasi pengalaman estetik yang telah mereka lalui dalam durasi yang cukup panjang. Bagi mereka, proses kreatif pun tidak hanya saat berlangsung proses produksi ketika berhadapan dengan medium serta tools dalam berkarya. Proses tersebut terkait dengan pra hingga pasca produksi sehingga segala hal dan sesuatu yang berada dalam kurun waktu tersebut menjadi sebuah ‘modal’ dalam berkarya.
Pengalaman jatuhnya lima ‘Talak’ yang menimpa proses kreatif kelompok Daun Pintu seakan menjadi sebuah kritik terhadap batas-batas yang disediakan oleh persoalan-persoalan sosial yang menyangkut ideologi serta identitas. ‘Talak Lima’ pun seakan kembali mengaktualisasikan loyalitas dan ketidakrasionalan dalam bertindak.
“Orang yang rasional menyesuaikan dirinya dengan kondisi sekeliling.
Orang yang tidak rasional menyesuaikan kondisi sekeliling dengan dirinya.
Semua kemajuan bergantung pada orang yang tidak rasional”
- George Bernard Shaw -
Referensi
Nasbitt, John. 2008. Mind Set!. Jakarta : Daras Book.
Hardima, Budi F. 2005. Memahami Negativitas – Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.
Sugiharto, Bambang I. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Komentar
Posting Komentar