maanfaatkan!!!! tanda pencarian di pojok atas atau label di bawah ini

udan tekek macan dhede

ismu ismoyo. ck.ck wiji tukul,2008

ismu ismoyo. raja cargo,2008

ismu ismoyo, angkring magribah, 2008

Acara : Pameran Seni Rupa “UDAN TEKEK MACAN DHEDE”
Tempat : Coral Gallery.
Opening : 15 Desember 2008
Waktu : 20.00 wib
Tanggal : 15 Desember – 5 Januari 2008
Allamat : Jl.Affandi {Gejayan} Yogyakarta.

Peserta Pameran :
1. Joenatan Kunto Arief Nugraha
2. Tegas Wahyu Nugroho
3. Ismu Ismoyo.

TENTANG PAMERAN UDAN TEKEK MACAN DEDE.
udan tekek macan dhede

Pranoto mongso atau pertanda zaman senantiasa menarik untuk dijadikan kajian.Terlepas dari sisi mistik, gaip dan takhyul tetapi tanda- tanda zaman bisa sedikit dijadikan acuan bagi mereka yang percaya..

Musim pancaroba dengan tetek bengek permasalahanya seperti pemanasan global, perubahan iklim yang ekstrim dan problema lingkungan secara fisik dapat kita rasakan tetapi bagaimanakah manusia memahami musim dari kacamata hatinya adakah keseadaran bahwa manusia adalah actor utama .

Dari sana tema pameran ini kita gulirkan {udan tekek macan dede}adalah sebuah guyonan untuk musim yang selalu bergerak dan sadar atau tidak kita ikut di dalamnya.
Introspeksi tekek dan macan saat hujan
Secara ilmiah, wilayah Indonesia memang termasuk dalam lingkaran api (ring of fire) yang terdapat banyak daerah patahan bumi sehingga sering mengakibatkan bencana alam. Bencana alam tidak selalu berwujud gempa, banjir, tapi juga akhibat dari kecerobohan kita.{ human error} .
Implementasi dari bentuk pernyataan kita terhadap alam dan musim sudahkah kita aplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Mulut mengucapkan salam (keselamatan) tetapi tindakan kita malah sebaliknya membuat kerusakan, ketidakadilan dan ancaman baik pada alam ataupun manusia lain.
Meskipun tidak terlalu relevan mengaitkan banyaknya bencana yang terjadi dengan perilaku hidup masyarakat, tidak salahnya Bangsa Indonesia untuk introspeksi diri. Mulai dari pemimpin formal dan nonformal sampai masyarakat biasa, merenungkan kembali perilaku hidup selama ini.ataukah masih ada hitungan ya dan tidak bagi suara tekek dan macan yang berjemur di saat hujan.
Seni Pancaroba.
Menyambung kata pembuka di atas, kita tahu, seni selalu dikaitkan dengan proses penciptaanya Bagi sekelompok orang yang memandang sesuatu secara holistik mungkin tidak akan tertarik pada pembahasan tentang unsur, oleh karena unsur merupakan bagian terkecil dari sesuatu yang membentuk kesatuan sistem. Bagi kelompok ini akan lebih tertarik pada prinsip-prinsipnya, apakah karya seni rupa itu secara keseluruhan enak di lihat atau tidak. Namun bagi kelompok atau orang yang berfikiran prakmatis, formal, atau struktural akan mengatakan enak tidaknya suatu karya Seni Rupa itu dinikmati adalah adanya unsur-unsur yang membentuknya.
Proses manghasilkan suatu karya seni seniman harus menggunakan kepekaan dirinya dan kemampuan pikirannya untuk mengungkapkan ide dan gagasan yang nantinya divisualisasikan dalam karya. Orisinalitas kreatif tidak berarti menciptakan atau menghasilkan sebuah sistem ide-ide dari suatu ketiadaan, melainkan dari penggabungan pola-pola pikiran yang sudah terbentuk dengan baik.

Sumber ide penciptaan karya seni mempunyai dimensi yang tak terbatas. Semua hal memiliki potensi dan daya tarik untuk diolah menjadi karya seni. . Seniman disini mempunyai otoritas penuh terhadap proses berkarya. Berangkat dari sinilah terbuka berbagai kemungkinan dalam penciptaan dan pemaknaan terhadap karya seni yang lebih luas, termasuk di dalamnya penemuan teknik-teknik visualisasi,inovasi,eksplorasi dan konsep-konsep alternative.

Bagaimana dengan seni yang mengikuti {musim} saat panas ikut panas saat dingin ikut dingin dan saat cuaca berubah mereka harus berjuang untuk menyesuaikan.

Disini kami melihat nilai ekspesi adalah perjuangan untuk hidup, dengan tahu akan banyak musim dan cara menyikapinya. Masing-masing dari kami mentrjemahkan itu secara bebas tetapi masih ada benang merah bahwa ketertarikan kami akan alam dan perubahan musim yang kami lihat dan rasakan.

Seperti tersirat dalam syair lagu ini:
Ono udan salah mangsa, sawiji ing tanah jawa
Gemah ripah loh jinawi ora kurang samu barang
Kutho budoyo terkenal ing nusantara
Ngayogyakarta sakmintene
gambarane kutho udan salah mangsa.

Kuratorial pameran
-->
ASPIRIN

Ono udan salah mangsa…sawiji ing tanah Jawa
Itulah sepenggal syair yang saya kutip dari rilis pameran kali ini, sepotong syair berbahasa Jawa yang menurut saya adalah sebuah bentuk kesadaran manusia terhadap dunia yang ditempatinya ketika manusia dengan akal budinya kemudian mampu memahami dan berkompromi dengan alam beserta segenap fenomena yang melingkupinya. Tanda-tanda dari alam yang sedemikian luas lama kelamaan mampu dibaca sebagai sebuah pola dan siklus yang terwujud dalam sistem pranoto mongso (tatanan musim), sebuah kerja besar yang tidak serta merta dengan mudah tercipta tanpa serangkaian panjang proses yang tekun dan dituntun oleh kebijaksanaan alami. Dari serangkaian tanda yang tersusun itulah kemudian manusia berkompromi dengan kekuatan alam dan bahkan mampu memanfaatkannya untuk keberlangsungan hidupnya semisal bertani, berlayar dan bahkan dengannya manusia mampu “memetakan” waktu sebagai titikan waktu yang “baik” dan “tidak” untuk melakukan aktifitas tertentu yang seolah tidak rasional sama sekali terlebih ditengah jaman “maju” seperti ini, mialnya pada hari anu jangan bepergian keaarah anu karena pada hari tersebut perhitungan hari jatuh pada hitungan jelek atau tiba ringkel dalam istilah Jawanya, atau sebuah contoh yang mungkin lebih ekstrim lagi, dulu semasa saya kecil yang sangat saya ingat, saat siang hari terjadi gempa bumi bapak saya segera mencocokkan dengan primbon yang merupakan warisan kakek dan disitu terbaca hal yang sama persis mengenai apa yang sedang berlaku saat itu tentang sanepan atau semacam kode alam yang terjadi, entah kebetulan entah tidak namun sejak itulah saya kemudian mulai percaya bahwa apa yang dituliskan dalam primbon dan pranoto mongso tersebut tidak sekedar dituliskan secara asal tanpa landasan yang kuat walaupun mungkin sulit dibuktikan secara empirik, terlebih di hari gini yang mana seolah segala hal harus mendasarkan diri pada kekuatan rasio manusia. Namun sebenarnya disini terlihat dengan jelas adanya kemampuan luar biasa dari nenek moyang kita untuk mampu melihat jauh kedepan melalui pembacaan setiap tanda alam yang terjadi.
Dari sinilah tampaknya pameran ini memulai perjalanan kreatifnya, tanda-tanda alam dan musim kemudian dicoba digulirkan sebagai sebuah landasan estetik yang disadari ataupun tidak, justru dari musim itu sendirilah warna dan karakter suatu karya bertumpu, udan tekek macan dede yang secara harfiah berarti hujan tokek harimau berjemur (udan tekek dalam istilah Jawa berarti hujan yang turun disaat matahari terik bersinar) kemudian menjadi sebuah payung besar ketiga seniman ini untuk berlindung dari hujan stagnasi dan badai monoton yang umumnya turun pada saat sebuah musim sedang melanda, entah itu sekedar trend sesaat ataupun sebagai sebuah bentuk konstruksi pemikiran dan wacana yang established dalam skala yang lebih luas. Saat sedang musimnya kita pasti menemui barang yang sedang musim itu disegala tempat dengan bentuk dan perwajahan yang kurang lebih sama apapun itu bisa musim buah, musim rebonding rambut dan bahkan musim panen….seni(rupa) kontemporer sekalipun.
Tema Udan tekek macan dede menjadi sebuah kode terbuka yang mendasarkan musim beserta segala tafsirnya sebagai landasan berfikir mereka, karena kemudian ternyata permasalahan yang diangkat telah bergerak berkembang lebih jauh ketimbang sekedar berbicara seputar masalah musim dan cuaca secara verbal yang kemungkinan malah akan menjatuhkan eksekusi karya pada euphoria tematik sesaat, ketika hujan turun ditengah terik matahari dan para “harimau” justru berjemur tanpa merasa perlu menganggap serius hujan yang turun, tampaknya ketiga seniman ini lebih memilih untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi cuaca yang tidak menentu ini karena bisa jadi berjemur ditengah hujan meskipun matahari bersinar cerah adalah tetap tindakan yang konyol, salah-salah kulit gosong dan penyakit flu justru mungkin didapat sehingga mereka sepertinya lebih memilih berteduh dalam pergulatan karakter estetika masing-masing untuk menafsirkan setiap ayat dari musim itu sendiri seperti tampak pada karya –karya Ismu Ismoyo yang banyak mengeksplorasi bentuk-bentuk semacam tulang dan figur-figur manusia serta benda-benda yang terabstraksi, akan sulit mungkin bagi kita menangkap kearah mana sebenarnya karya ini akan membawa kita kalau kita menanggapi karyanya secara tidak terbuka tanpa membiarkan imajinasi kita bermain sembari mengalirkan kembali memori tentang posisi kita sebagai manusia mengenai hakikat dan posisinya ditengah musim hujan rintik-rintik bertabur cahaya matahari yang tidak menentu ini, spiritualitas tentang rasa syukur dan pelafalannya yang terkadang begitu kelu diucapkan dan hal-hal yang sebenarnya cukup ringan namun selalu hadir secara intens menjadikannya sebagai pijakan yang cukup menarik, hal yang kurang lebih sama terjadi dalam karya Tegas Wahyu Nugroho yang terlihat seakan menarik segala tanda-tanda musim itu sendiri kedalam dirinya dan kemudian secara sadar mengeluarkannya sedikit demi sedikit keatas kanvasnya dengan bahasa yang mungkin sedemikian personalnya sehingga kita terkadang hanya menemui “musim” yang lain melalui bahasa ungkapnya, sebuah musim yang “berat” yang seolah hanya mampu diceritakan secara sinis dan terbata-bata sembari menertawakan diri melalui “gerutuan” yang banyak tertulis dikanvasnya. Sedangkan Jonathan tampak lebih lugas ringan bertutur melalui bahasa visualnya yang terasa komikal yang paling tidak akan cenderung lebih mudah untuk menangkap jejak musim melalui suasana yang dibangun dalam karya-karyanya, tentang potongan-potongan realitas keseharian yang dianggapnya menarik semisal berita-berita yang ditontonnya melalui televisi kemudian dituangkan kedalam karya yang menurutnya sangat dipengaruhi mood nya oleh cuaca ditambah dengan pandangan-pandangan pribadinya, toh ketiganya tampak tak hendak memaparkan semacam prakiraan cuaca yang membosankan dan mendikte selain memberikan semacam ruang berfikir alternatif melalui setiap bahasa ungkap mereka yang mengetengahkan semangat eksplorasi dan bermain yang cukup intens namun tetap menjaga jarak terhadap setiap konteks realitas yang mereka hadapi selain menanggapinya secara fragmentatif dan mengolahnya lagi sedemikian rupa menjadi tuangan ekspresi yang subyektif sebagaimana lazimnya sebuah karya seni melalui sudut pandang mereka sendiri.
Lantas sejauh manakah musim sesungguhnya memainkan peranan dalam karya mereka? Rasa-rasanya hal tersebut tidak akan mudah dicari jawabnya melalui jejak yang mereka tinggalkan ditanah becek selepas musim hujan ini karena selain musim yang terus bergerak, tampaknya ketiga seniman ini justru memandang musim sebagai sesuatu yang relatif dan tidak tetap sehingga sulit rasanya untuk mendapatkan jawaban yang bisa diamini secara konsisten dan kolektif serta memuaskan banyak pihak selain hanya bisa dibaca secara samar-samar sebagaimana pelangi yang selalu muncul selepas terjadinya udan tekek dan sang macanpun sepertinya sekarang membutuhkan aspirin dan jaket penghangat karena masuk angin
Dhidhik Danardhono
Karangmalang 2008

Komentar